Jumat, 04 November 2016

IMAGINE

IMAGINE
*Tulisan ini saya buat sembari mendengarkan lagu John Lennon yang berjudul sama dengan tulisan ini*
             Hampir semua manusia di muka bumi mengenal sosok legendaris yang satu ini. Ya , John Lennon, pentolan grup band The Beattles yang sangat terkenal di masa sebelum millenium.  Liriknya begini :
Imagine there’s no counties, it isn’t hard to do, nothing to kill or die for, and no religion, too.
Imagine all the people, living life in peace. You may say i’m a dreamer, but I’m not the only one. I hope someday you’ll join us, and the world will life as one”
             Tepat tanggal 4 November 2016, tulisan ini saya buat. Entah kenapa, saya ingin sekali menulis. Sesuatu menggerakkan saya untuk menulis. Dan lagu ini muncul begitu saja dalam benak saya karena begitu relevan dengan peristiwa ini. Hari ini, negara yang kita cintai ini mengalami cobaan klasik yang kesekian kalinya. Perbedaan agama.           Saya semakin ingin untuk membuat tulisan ini setelah membaca status di beberapa media sosial teman saya, pribadi-pribadi terpelajar yang saya kenal baik dan sangat saya cintai, ikut terprovokasi isu demo hari ini, aksi demo yang dimotori Front Pembela Islam, yaitu Aksi Bela Islam. Saya tidak menyalahkan mereka atas pilihan yang mereka ambil. Seperti yang dikatakan oleh Kepala Negara kita, itu hak demokrasi semua warga negara Indonesia untuk berpendapat.
             Namun yang saya sesalkan, apakah mereka sungguh-sungguh melihat isu ini secara obyektif? Atau subyektif, karena yang menjadi sorotan adalah seorang Nasrani Tionghoa? Saya melihat kasus ini secara obyektif. Bukan karena saya juga seorang Nasrani, makanya saya memberikan pandangan yang membela sosok tersebut. Tapi karena bapak tiga orang anak ini adalah sosok jujur dan pekerja keras. Tidak aneh-aneh, tidak neko-neko. Baginya, putih adalah putih, tidak ada abu-abu. Dia terpilih sebagai kepala daerah karena kapasitas, bukan agama, suku, atau ras. Dia memilih menjadi kepala daerah karena muak dengan kemunafikan, sosok Soe Hok Gie modern yang lama tidak dimiliki negara ini. Sosok Oemar Bakri, yang sungguh berbakti kepada negeri.  
             Semua tindakanya dapat dia pertanggung jawabkan dengan baik, dunia akhirat. Nyaris tidak ada celah dalam setiap tindakannya, karena dia tulus melakukan apa yang menjadi panggilannya. Sosok manusia langit, mengutip istilah dari sebuah artikel yang saya baca pada hari ini. Sosok yang dikagumi banyak orang, dan mungkin malah dibenci kaumnya sendiri, karena keberpihakannya pada rakyat, bukan kaum kapitalis.
             Kembali pada peristiwa hari ini, yang disebut sebagai parlemen jalanan terbesar di Indonesia yang diikuti oleh saudara-saudari muslim kita, berprofesi sebagai wakil ketua DPR hingga pengayuh becak, bermotif politik hingga sekedar cari makan siang, salah satu peristiwa besar yang akan tercatat dalam buku sejarah republik ini. Aksi yang sangat kental dengan isu agama bahkan SARA ini dan menyita perhatian begitu banyak pihak, berawal hanya dari sebuah kata sambutan sosok yang menjadi trending topic aksi demo pada hari ini. Pernyataan sosok tersebut, diduga mengandung unsur penistaan salah satu agama terbesar di muka bumi, dan agama dengan pemeluk mayoritas di negara ini.
             Pertanyaan saya untuk semua yang ambil bagian dari aksi hari ini, terutama saudara-saudari kami yang merasa menjadi korban penistaan, apakah hati kecil kalian berkata demikian? Apakah dari mulut seorang Nasrani taat, yang notabene merupakan agama minoritas di negara ini, dan berasal dari suku Tionghoa, yang juga merupakan suku minoritas di negara ini, mungkin mengeluarkan kata-kata yang bermaksud menistakan agama mayoritas tersebut? Apakah sosok korban SARA ini dapat menjadi pelaku, yang ingin menyakiti hati masyarakat yang dicintainya, dengan menghina agama mereka? Yang lebih rasional lagi, apakah mungkin dia menghancurkan elektabilitasnya menjelang pemilu dengan kata-kata yang mengandung SARA?
             Apakah sebegitu bersalahnya beliau, hingga ia perlu dipenjarakan atas perkataan yang tidak pernah ia maksudkan? Apakah kalian tidak melihat dan menghargai ketulusan setiap tindakannya, atau hanya mempersoalkan warna kulit dan Tuhan yang dia sembah?  Kalau memang begitu, maka apa yang dialami beliau juga ditujukan untuk semua kaum Nasrani dan etnis Tionghoa yang kalian kenal. Cobalah berdoa dan bertanya pada hati kecil kita semua, apakah memang ia bersalah, atau kita ini sudah menjadi korban politik beberapa pihak yang haus kekuasan. Pihak-pihak yang seharusnya mendekam di penjara, namun berteriak atas nama agama. Sadarkah kita, kalau kita terlalu mudah terpancing isu-isu seperti ini? Apakah kita lupa, kalau kita semua saling mengasihi?
             Lantas siapa FPI, yang menjadi motor gerakan ini? Apakah kelompok ini merupakan kumpulan orang suci yang pantas dijadikan teladan? Apakah perbuatan mereka mencerminkan kengininan Allah yang disembah kaum muslim? Merusak, membakar, menjarah, membuat onar. Benalu-benalu fanatik yang sudah memelintir ayat suci hanya untuk ambisi kelompok.  Organisasi ekstrem yang mengatasnamakan agama untuk memperoleh keuntungan sendiri, menunggangi pribadi-pribadi yang dengan sungguh berjuang bagi agamanya, memanfaatkan ketulusan beragama kaum muslim untuk memuluskan kepentingan pribadi mereka. Sesungguhnya, orang-orang seperti FPI ada disetiap agama. Tidak ada yang salah dengan Al-Quran, tetapi mereka menafsirkannya sesuai dengan interpretasi mereka, melihat ayat tersebut hanya sepotong-sepotong saja. Apa yang mereka lakukan adalah kriminalisasi, orang-orang yang ingin negara ini jalan ditempat, tidak pernah maju, dan mengambil keuntungan dari keadaan tersebut.
             Agama, mengutip istilah laporan keuangan rekonsiliasi fiskal, hal ini dikenal sebagai beda waktu yang sifatnya temporer. Apa maksudnya? Maksudnya adalah suatu saat, pada suatu tempat, semua ini akan menjadi satu. Saat itu dikenal semua umat beragama sebagai kiamat, dan tempat itu adalah surga atau neraka. Kelak, semua umat beragama percaya, saat itu akan tiba, dan semuanya akan terungkap. Jika perbedaan ini yang terus dipersoalkan, maka negara ini tidak akan bisa bersatu. Terus terang saja, kalau begitu buat apa ada agama? Sekalian saja tidak usah beragama, mungkin akan lebih baik keadaannya. Kita semua dapat duduk bersama, bercengkrama tanpa mempersoalkan sesuatu yang belum tahu ujungnya, siapa yang benar dan siapa yang keliru. Salam Kasih buat semua saudara-saudari Muslim, saudara-saudari satu rahim, Ibu Pertiwi. Tuhan Memberkati.

“And the world, will be as one”
Phil Spector/John Lennon - 1971