Tax Planning dan Pengendalian atas PPh Pasal 21
A.
KOMPENSASI
KARYAWAN: TUNAI VS NATURA
Karyawan yang bekerja di sebuah
perusahaan dan pemberi kerja lain akan menerima imbal hasil dari jasa yang ia
diberikan, berupa kompensasi. Kompensasi yang diberikan oleh pemberi kerja
dapat berupa gaji, upah, honorarium, bonus, tunjangan-tunjangan seperti dana
pensiun dan tanggungan biaya kesehatan, sampai pemberian fasilitas yang biasa
kita kenal dengan biaya kenikmatan atau natura.
Pemberi
kerja tentu ingin memaksimalkan keuntungan yang mereka terima, dengan
memaksimalkan biaya yang bisa mereka bebankan sebagai pengurang penghasilan,
agar pajak yang mereka bayarkan semakin sedikit. Di lain pihak, pemberi kerja
juga ingin memacu motivasi karyawannya agar dapat bekerja secara produktif
dengan memberikan kompensasi tambahan, disamping kompensasi pokok yang mereka
berikan.
Dalam
hal ini, pemberi kerja harus memperhitungkan dengan cermat kebijakan yang akan
mereka pilih. Idealnya tentu mereka ingin agar dapat memberikan kompensasi
tambahan, dan biayanya dibebankan. Maka dari itu, sebagai bagian dari tax planning, pemberi kerja dapat
mempertimbangkan cara pemberian kompensasi tersebut.
Natura,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “barang yang sebenarnya,
bukan dalam bentuk uang (ttg pembayaran).” Sedangkan menurut Surat Edaran
Dirjan Pajak Nomor SE-03/PJ.23/1984 tentang pengertian kenikmatan dalam bentuk
natura (seri PPh Pasal 21-02), kenikmatan dalam bentuk natura adalah setiap
balas jasa yang diterima atau diperoleh pegawai, karyawan, atau karyawati dan
atau keluarganya tidak dalam bentuk uang dari pemberi kerja. Didalam UU PPh
Nomor 36 Tahun 2008, istilah natura dapat dilihat dalam beberapa pasal, diantaranya pasal 4 ayat 3 huruf d dan pasal
9 ayat 1.
Natura
mengandung konsep taxable dan deductible. Artinya, natura dapat
dibebankan sebagaimana kompensasi pokok, sejauh natura yang diberikan dan pemberiannya
sesuai dengan ketentuan perpajakan. Natura yang dapat dikurangkan sebagai beban
bagi perusahaan adalah natura yang (1) berupa pemberian makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai, (2) natura yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan
pekerjaan didaerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk
mendorong pembangunan didaerah tersebut, (3) natura yang merupakan keharusan
dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat
pekerjaan yang mengharuskannya.
Pemberian
kompensasi secara tunai, sejauh sesuai dengan peraturan perpajakan sebenarnya
dapat dibiayakan dan tidak akan cenderung menarik perhatian petugas pajak untuk
melakukan koreksi fiskal. Misalnya, sebagai contoh, jika pemberi kerja ingin
memberikan tunjangan berupa beras pada saat hari raya keagamaan, perusahaan
dapat memberikannya dalam bentuk tunai, tidak perlu dalam bentuk fisik, karena
tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.
B.
METODE
PERHITUNGAN PPh PASAL 21
Dalam perhitungan pajak
penghasilan (PPh 21) ada 3 metode yang bisa digunakan, yaitu:
1.
Gross
method adalah metode pemotongan pajak dimana karyawan
menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya. Perusahaan hanya berkewajiban
memungut dari pegawai dan melaporkan/menyetor ke kantor pajak atas jumlah yang
telah dipotong dari pegawai.
2.
Net
method merupakan pemotongan pajak dimana perusahaan
menanggung pajak karyawannya.
Secara
fiskal perlakuannya adalah:
·
Atas beban yang timbul bagi pemberi
penghasilan bersifat non-deductible
(tidak dapat menjadi pengurang penghasilan perusahaan), artinya pada waktu
perusahaan melaporkan SPT PPh Badan, beban ini boleh dikurangi dari pendapatan,
dan beban pph ps 29 menjadi lebih besar
·
Atas fasilitas yang dinikmati penerima
penghasilan (pegawai) berupa pajak PPh ps 21 yang dibayarkan oleh perusahaan
tidak termaksud dalam perhitungan penghasilan penerima penghasilan.
3.
Gross
up method adalah
metode pemotongan pajak dimana perudahaan memberikan tunjangan pajak
yang jumlanya sama besar dengan jumlah pajak yang akan dipotong dari karyawan.
Seperti yang sudah
dijelaskan diatas, bahwa metode gross up dimana jumlah tunjangan pajak dan
jumlah pajak yang harus dibayar sama besar dapat di ilustrasikan sebagai
berikut.
Penghasilan = X
Tunjangan Pajak = 100
Total penghasilan bruto = 100+X
Pengurang:
- Biaya Jabatan :
- Biaya Jamsostek :
Total Pengurang Penghasilan = Y
Jumlah Penghasilan Neto = 100+X–Y
PTKP = Z
PKP = 100+X–Y–Z
PPh terhutang = 100
Penghasilan = X
Tunjangan Pajak = 100
Total penghasilan bruto = 100+X
Pengurang:
- Biaya Jabatan :
- Biaya Jamsostek :
Total Pengurang Penghasilan = Y
Jumlah Penghasilan Neto = 100+X–Y
PTKP = Z
PKP = 100+X–Y–Z
PPh terhutang = 100
Dalam
menghitung PPh pasal 21 tarif yang digunakan adalah tarif progresif berdasarkan
pasal 17 UU No 36 Tahun 2008, yaitu:
LAPISAN PENGHASILAN KENA
PAJAK
|
TARIF PAJAK
|
0-50.000000
|
15%
|
>50.000000-250.000.000
|
15%
|
>250.000000-
500.000.0000
|
25%
|
>500.000.000
|
30%
|
Secara matematis untuk
menghitung PPh dengan metode Gross Up
tersebut adalah sebagai berikut:
PKP
|
Rumus
Mencari Tunjangan PPh
|
s/d
47.500.000
|
PKP
setahun-0 X 5/95 + 0
|
>47.500.000
s/d 217.500.000
|
PKP
Setahun – 47.500.000 X 15/85 + 2.500.000
|
>217.500.000
s/d 405.000.000
|
PKP
Setahun -217.500.000 X 25/75 + 32.500.000
|
>405.000.000
s/d…….
|
PKP
setahun – 405.000.000 x 30/70 + 95.000.000
|
CONTOH KASUS
Heru,
bekerja sebagai dokter dengan gaji perbulan
Rp 20.000.000 dengan status
kawin TK/0, JKK & JKM 0,54% dari gaji sedangkan JTH 2% dari gaji.
Hitunglah berapa tunjangan pajak yang harus diberikan per tahun jika PPh 21
dihitung berdasarkan metode Gross Up?
Gaji
(1 tahun)
|
240.000.000
|
Jamsostek
|
1.296.000
|
Penghasilan
bruto
|
241.296000
|
pengurang
|
|
Biaya jabatan
|
6.000.000
|
JHT
|
4.800.000
|
|
10.800.000
|
Penghasilan
Neto
|
230.496.000
|
PTKP
(TK/0)
|
24.300.000
|
PKP
|
206.196.000
|
PKPnya
adalah 206.196.000 maka termaksud dalam kelompok lapisan III, maka PPH terutang
adalah
Tunjangan PPH : 206.196.000 - 47.500.000 X 15/85 + 2.500.000= 30.505.176
Pembuktian kebenaran
Gaji
(satu tahun)
|
240.000.000
|
Tunjangan
pajak
|
30.505.176
|
Jamsostek
|
1.296.000
|
Penghasilan
Bruto
|
271.801.176
|
Pengurang
|
|
Biaya Jabatan
|
6.000.000
|
JHT
|
4.800.000
|
|
10.800.000
|
Penghasilan
Netto
|
261.001.176
|
PTKP
(TK/0)
|
24.300.000
|
PKP
|
236.701.176
|
PPh
|
|
5% 50.000000
|
2.500.000
|
15%
186.243.765
|
27.936.565
|
|
30.505.176
|
Terbukti tunjangan yang
harus diberikan adalah Rp. 30.505.176
C.
KONSEP
TAXABLE DAN DEDUCTIBLE TERKAIT DENGAN UNSUR-UNSUR BIAYA
Taxable
dan
Deductible merupakan konsep dalam
perpajakan berkaitan dengan penghasilan yang dapat dikenakan pajak, dan biaya
yang dapat dijadikan pengurang penghasilan yang akan dikenakan pajak. Taxable merupakan macam-macam
penghasilan yang dapat dikenai pajak, sehingga pajak yang akan dibayarkan
perusahaan semakin kecil. Sedangkan deductible
adalah macam-macam biaya yang dapat dijadikan sebagai pengurang
penghasilan, yang pada akhirnya juga akan memperkecil pajak yang akan
dibayarkan oleh wajib pajak.
Penghasilan,
sebagai obyek pajak terbagi atas tiga golongan, yaitu penghasilan yang dikenai
pajak, penghasilan yang dikenai pajak bersifat final, serta penghasilan yang
bukan obyek pajak. Penghasilan yang sifatnya taxable (terutang PPh) adalah penghasilan yang dikenai pajak dan
dikenai pajak bersifat final. Hanya saja, penghasilan pajak yang bersifat final
tidak perlu lagi dimasukkan ke dalam perhitungan, karena sudah dipotong secara
langsung oleh pihak lain. Hal ini dapat dilihat pada UU PPh Nomor 36 Tahun 2008
pasal 4.
Penghasilan,
yang masuk dalam kategori taxable harus
dikenakan pajak, sehingga akan menambah kewajiban perpajakan wajib pajak.
Sedangkan jika tidak termasuk taxable, dikeluarkan
dari perhitungan, sehingga akan memperkecil kewajiban perpajakan wajib pajak.
Sedangkan
beban yang deductible menurut pajak
adalah beban yang digunakan untuk mendapatkan, memelihara, dan menagih penghasilan, dan diatur dalam UU PPh
Nomor 36 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 93 Tahun 2010,
PMK Nomor 02/PMK.03/2010, dan Keputusan Dirjen Pajak KEP-220/PJ/2002, termasuk
natura yang dapat dibiayakan (deductible).
Jika natura tidak termasuk kedalam yang diatur perundang-undangan, maka
wajib pajak dapat membuat daftar nominatif berkaitan dengan biaya yang
dikeluarkan, yang digolongkan sebagai
natura atau biaya kenikmatan.
Misalnya,
biaya jamuan makan malam klien, yang digunakan untuk memperlancar proyek bagi
suatu perusahaan. Sebenarnya biaya ini tidak dapat dikurangkan, karena tidak
berkaitan dengan biaya untuk mendapatkan, memelihara, dan menagih penghasilan.
Namun, jika memiliki business reason yang
cukup, didukung dengan bukti berupa daftar nominatif, biaya ini dapat
dibiayakan.
Beban yang deductible dapat mengurangi kewajiban
perpajakan wajib pajak, sedangkan yang non
deductible harus dimasukkan ke dalam perhitungan, sehingga akan menambah
besar kewajiban perpajakan wajib pajak.
Pengetahuan
mengenai konsep taxable dan deductible sangat penting diketahui,
agar tax planning dapat dilakukan
dengan baik. Pihak yang melakukan tax
planning perlu memahami dengan benar konsep ini, agar dapat memisahkan
jenis penghasilan yang taxable dan non taxable, serta beban yang deductible dan yang non deductible. Jika tidak, maka kemungkinan akan terkena
rekonsiliasi fiskal dari petugas pajak.
D.
REKONSILIASI
OBJEK PPH PASAL 21
Rekonsiliasi
fiskal adalah suatu mekanisme penyesuaian pelaporan keuangan wajib pajak yang
pelaporannya berdasarkan ketentuan komersial, disesuaikan dengan ketentuan
perpajakan. Hal ini dilakukan agar laba dalam laporan keuangan wajib pajak yang
menjadi dasar perhitungan pengenaan pajaknya sesuai dengan ketentuan
perpajakan. Fokus rekonsiliasi adalah pada laporan laba rugi
perusahaan.Rekonsiliasi objek PPH pasal 21 adalah rekonsiliasi yang difokuskan
pada objek PPH pasal 21 yang oleh perusahaan dapat dijadikan sebagai biaya
perusahaan. Berikut adalah biaya-biaya yang boleh dijadikan pengurang
penghasilan bruto perusahaan (detail tedapat pada pph pasal 21 ayat 6 (1) :
1.
Biaya yang
berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan kegiatan usaha
2.
Biaya pembelian
bahan
3.
Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa (termasuk
gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk
uang)
4.
Biaya bunga,
sewa, dan royalty
5.
Biaya perjalanan
6.
Biaya
pengelolaan limbah
7.
Premi asuransi
8.
Biaya
administrasi
9.
Pajak, kecuali
pajak penghasilan
10. Penyusutan dan amortisasi
11. Iuran kepada dana pensiun (sah menurut Menteri
Keuangan)
12. Kerugian karena penjualan/pengalihan harta yang
dimiliki dalam perusahaan
13. Kerugian karena selisih kurs mata uang
14. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang
dilakukan di Indonesia
15. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan untuk
meningkatkan SDM
16. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan
syarat
17. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana
nasional
18. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan
yang dilakukan di Indonesia
19. Biaya pembangunan infrastruktur social
20. Sumbangan fasilitas pendidikan
21. Sumbangan dalam rangka pembinaan olah raga
Pembahasan
dalam tulisan ini difokuskan pada poin 3 yaitu biaya berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa (termasuk gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang
diberikan dalam bentuk uang). Tidak semua biaya yang dikeluarkan oleh
perusahaan bagi karyawan dapat dijadikan biaya oleh perusahaan dalam
perhitungan labanya. Pemberian fasilitas dalam bentuk natura/kenikmatan diluar
yang telah diatur dalam pph pasal 21, tidak dapat dijadikan biaya oleh
perusahaan.
E.
PERBEDAAN LABA KOMERSIAL DAN LABA FISKAL
Perbedaan antara laba
komersial dan laba fiskal disebabkan oleh penggunaan pedoman penyusunan
laporan. Laba komersial diperoleh sesuai dengan perhitungan dan pengakuan biaya
maupun pendapatan menurut SAK. Sedangkan Laba fiskal diperoleh dari pengakuan
biaya dan pendapatan yang diatur dalam undang-undang perpajakan. Perbedaan
anatar laba komersial dan laba fiscal dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Beda Tetap
2. Beda Waktu
1.
Beda Tetap
Perbedaan pengakuan
baik biaya ataupun pendapatan oleh wajib pajak yang untuk pengakuan tersebut
tidak diakui oleh perpajakan. Dalam hal ini terkat biaya karyawan, maka
pemberian dalam bentuk natura (diluar ketetapan perpajakan) yang oleh
perusahaan telah dibiayakan harus dikeluarkan dari unsur biaya. Hal ini
dikarenakan biaya tersebut tidak boleh diperlakukan sebagai pengurang
pendapatan perusahaan (laba).
2.
Beda Waktu
Perbedaan pengakuan
biaya maupun pendapatan oleh wajib pajak yang juga diperbolehkan oleh
perpajakan hanya saja jumlah yang diakui tidak dapat diakui semuanya karena
beberapa ketentuan yang diatur dalam perpajakan. Hal ini seperti pemilihan
metode penyusutan, yang dikenal dengan metode garis lurus ataupun saldo menurun
berganda. Awal perhitungan terlihat beda, antara keduanya, namun ada satu waktu
yang kedua metode memiliki nilai biaya yang sama.
Bagi saldo
menenurun berganda, pengakuan nilai biaya penyusutannya diawal tahun besar yang
mengakibatkan laba perusahaan menjadi kecil. Jumlah biaya tersebut akan turun
ditahun-tahun berikutnya dan laba perusahaan perlahan naik (berbanding terbalik
dengan biaya penyusutannya). Sedangkan untuk metode penyusutan garis lurus,
biaya penyusutannya sama setiap tahunnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Alvino.”Tata Cara Penghitungan PPh 21 Metode Gross
Up”. 28 April 2015.
Margareta,
Herlina.”Akuntansi Perpajakan Koreksi Fiskal”. 28 April 2015.
Risman, Moch. Arief.”Natura Atau Tunjangan, Sebuah
Nama Sebuah Cerita”. 28 April 2015.
Siskawati,
Gerhana Suci. “Rekonsiliasi Fiskal”. 28 April 2015. https://gerhanasuci.wordpress.com/2012/04/23/rekonsiliasi-fiskal/
Subekti, Wibowo.”Pengertian Kenikmatan Dalam Bentuk
Natura”.28 April 2015.
www.ortax.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar