Suatu
hari, di sebuah kota kecil saat jam menunjukkan pukul 12 siang seorang ayah dan
anak perempuannya berjalan menyusuri pertokoan. Sehabis pulang sekolah, tak
biasanya si ayah mengajak anak perempuan satu-satunya ini untuk berjalan-jalan.
Namun hari ini berbeda. “Pasti karena ulang tahunku ‘kan yah?” sahutnya.
“Hahahha.. Kamu tau aja. Makanya hari ini ayah mau membelikan sesuatu buatmu.”
“Sesuatu yang aku suka yah?,” tanya gadis kecil tersebut. “Mmmmm.. Kita liat
aja nanti ya, biar jadi kejutan.” “Asiiikkkkkk....,” teriaknya sambil menari
kecil.
Ketika
mereka melintasi sebuah toko mainan, si ayah mengajak putri kecilnya masuk.
Sontak hal ini membuat anak berumur tujuh tahun itu girang bukan kepalang.
Tidak ada lagi hadiah yang dia harapkan selain sebuah boneka kucing berbulu
lebat. Pertama ia melihatnya di televisi, ia langsung menginginkan boneka
tersebut menjadi teman bermainnya. Dengan cepat ia berlari menuju rak yang
memajang boneka tersebut, dan mengambilnya tanpa ragu, seolah ia tidak punya
pilihan lain. Si ayah diam saja mellihat tingkah putrinya, dan membiarkan anak
tunggalnya itu memeluk boneka tersebut dengan sangat gembira. Ia tau persis
kesukaan putrinya, dan membiarkannya bermain-main dengan boneka itu.
“Ayah, yang ini ya, lucu. Aku suka banget.
Hihihihi...”
“Kamu
yakin ga mau liat-liat dulu? Masih banyak loh yang lain, itu yang jerapah juga
lucu.”
“Ga ah,
yang ini aja. Aku ga mau yang lain ayah. Liat nih, dia juga suka ku peluk,”
katanya sembari menjulurkan boneka tersebut kepada ayahnya.
“Hmmmmm...
,“ ayahnya hanya menggumam pelan sambil tersenyum.
Tak
terasa sudah hampir lima belas menit mereka menghabiskan waktu di toko
tersebut. Dan selama itu pula anak perempuan itu terus memeluk boneka kucing
kesukaannya. Tak jarang ia menciumi boneka tersebut.
Tiba-tiba,
ketika ia hendak menghampiri ayahnya untuk memastikan pilihannya, anak itu
bersin-bersin. Semakin lama semakin menjadi, sampai-sampai ingus keluar dari
hidung mungilnya. Melihat hal itu, ayahnya dengan sigap mengambil boneka itu
dari tangan putrinya. Tentu saja hal ini membuat putrinya bertanya-tanya. “Ada
apa yah? Kok diambil? Mau dibayar ya?,” tanyanya sambil mengusap hidung dan
matanya.
“Ayah
pikir, karena ini ulang tahun kamu, gimana kalau ayah yang milih hadianya?”
Si anak
terlihat sedikit bingung dengan ide ayahnya. “Ayah yang pilih? Tapi ayah pilih
yang aku suka ya. Boneka ini yah,” katanya sambil mengguncang-guncangkan tubuh
ayahnya.
“Gimana
ya... Tadi ayah liat ada boneka panda yang lucu disebelah sana. Warnanya belang-belang
gitu, hitam putih. Lucu deh, pasti kamu suka.”
Tanpa
pikir panjang, anak tersebut langsung menolak ide ayahnya. “Gamau yah, aku
maunya yang ini aja. Dia lebih lucu, bulunya lebat banget, hachimmm..enak kalau
dipeluk-peluk, hachimmmm,” rengeknya sembari bersin-bersin.
Si ayah
terlihat iba dengan rengekan ayahnya. Kemudian dia berlutut, dan menyejajarkan
tubuhnya dengan tubuh anaknya, terlihat seperti akan berbicara serius tentang
sesuatu. “Nak,”sahutnya sambil menghela napas pendek,”kamu yakin bisa
merawatnya dengan baik?”
“Bisa
ayah, aku pasti menjaganya dengan baik. Janji deh.”
“Hmmmm...”
si ayah hanya bisa menggumam melihat kesungguhan hati putrinya. “Iya sih, ayah
lihat kamu suka banget sama boneka ini, tapiii... kamu liat gak, kalo sejak memegang
boneka ini, kamu jadi bersin-bersin terus? Liat tuh, ingusnya sampai meler
gitu,” kata ayahnya sambil mengusap ingus yang
terus-terusan mengalir di hidung putrinya.
“Enghh,
iya sih. Tapi kan tadi enggak, baru ini aja bersinnya. Mungkin bukan karena dia
ayah, Dodo gatau apa-apa, dia ga salah kok.”
“Dodo?
Hahahahha...” Ini memang sudah menjadi kebiasaan putri kecilnya untuk menamai
benda-benda yang dia sukai. “Iya, tapi waktu kamu peluk dan cium-cium si Dodo,
ga lama kemudian kamu bersin kan? Kamu tau kenapa?”
“Kenapa
yah? Karena si Dodo belum mandi?”
“Hahahaha...
Bukan sayang. Kamu bersin karena kamu ga bisa dekat-dekat bulu yang lebat kayak
Dodo ini terlalu lama.” Si ayah tahu, putrinya tidak akan begitu saja menerima
penjelasannya.
“Tapi
yah, aku suka banget sama Dodo,” matanya mulai berair dan mukanya memelas
memohon pengertian ayahnya.
“Iya,
ayah tahu. Tapi coba kita liat dulu Kuri ya, dia juga ga kalah lucu kok,
pipinya tembem lagi, kayak kamu. Hehehehhe.”
“Kuri?,”
tanyanya sambil mengikuti ayahnya menuju salah satu rak di ujung toko.
Sesampainya di rak tersebut, si ayah langsung menjulurkan sebuah boneka panda
kepada putrinya. “Halo namaku Kuri, salam kenal,” kata ayahnya sambil mengubah
suaranya menyerupai suara anak kecil.
Putrinya
terlihat tidak begitu antusias ketika menerima boneka itu dari tangan ayahnya.
Ia diam saja sambil membolak-balik boneka tersebut, seolah-olah mencari-cari
sesuatu yang terselip di boneka itu. Matanya seperti menerawang sesuatu, dan
tatapannya tidak secerah ketika ia menggenggam Dodo, boneka kucing berbulu
lebat yang sudah lama ia idamkan.
“Gimana?”
tanya ayahnya. Meskipun ia tahu, putrinya tidak begitu senang dengan
pilihannya, tetapi ia mencoba untuk meyakinkan putrinya itu dengan pilihan yang
ia berikan. “Baguskan? Liat deh, pipinya tembem gitu.”
“Jadi
ayah mau ngasi Kuri buat aku?” tanyanya muram. “Iya sih, dia lucu, tapi dia ga
sebagus Dodo yah.”
“Coba
kamu peluk-peluk dulu si Kuri. Kan kamu belum lama sama dia, gimana kamu bisa
tahu sayang.”
Dengan
enggan, putrinya mengikuti saran ayahnya. Lama ia mencoba untuk menghibur diri
dengan pilihan ayahnya. Dia peluk dan cium si Kuri, sama seperti yang dia
lakukan pada boneka kucing berbulu lebat sebelunmnya. Sesekali matanya masih
melihat ke arah Dodo, yang diletakkan begitu saja oleh ayahnya di dekat kasir.
Namun ia tahu, ayahnya tentu ingin memberikan yang terbaik baginya. Selama ini
tidak pernah sekalipun ia dikecewakan oleh ayahnya. Ia tahu, ayahnya begitu
menyayanginya.
Lama-lama,
ia merasa nyaman dengan Kuri. Terutama karena ia tidak bersin lagi. Dalam
hatinya ia senang, karena dia bisa lama-lama bermain dengan boneka panda ini.
“Kalau dengan Dodo, mungkin aku udah bersin lagi,” pikirnya. “Kalau
dilihat-lihat, kamu lucu juga Kuri. Pipi kamu tembem, mata kamu bulet, terus
perutnya buncit lagi. Enak buat dipeluk-peluk.” Ayahnya yang melihat dari
kejauhan juga senang karena putrinya menyukai pilihannya.
“Yah,
Kuri aja deh ya. Ini, ayo kita bawa Kuri pulang, dia mau minum teh sama aku
katanya. Hehehehe.”
“Iya
deh, tapi nanti papa juga ikut dibikinin teh tapi ya. Hehehehe.”
Tentu
kita sudah sering dihadapkan pada bermacam-macam pilihan sulit seperti diatas.
Apalagi kalau kita benar-benar menginginkan sesuatu yang kita sukai, seakan
tidak ada pilihan lain bagi kita selain apa yang kita senangi tersebut. Maunya
itu, hanya itu, cuma itu. Maunya kamu, cuma kamu, hanya kamu. Bukan begitu?
Tentu
tidak mudah bagi kita melepaskan sesuatu yang begitu kita sukai. Hal ini sangat
wajar dan lumrah terjadi. Terutama kalau urusannya udah soal asmara. Orang yang
paling susah dikasih tahu adalah mereka-mereka yang sedang dimabuk cinta.
Namanya lagi mabuk, ya udah ga rasional lagi. Lagi lagi ya maunya kamu, cuma
kamu, hanya kamu.
Ada
kalanya baik bagi kita untuk menarik diri, sejenak keluar dari ke-akuan kita
sendiri. Dan tidak membiarkan diri kita larut oleh keinginan semu yang kita
yakini sepenuhnya benar. Apakah dia memang yang terbaik? Benarkah kita tidak
punya pilihan lain? Apa kita benar-benar mati tanpanya (kan “aku mati tanpamu”
katanya)?
Penulis
juga pernah mengalami hal serupa. Ketika itu terjadi di medio 2013-an, penulis
rasanya sudah “menutup mata” untuk kemungkinan lain. “Pindah” menjadi hal yang
begitu sulit untuk dilakukan. Ditambah lagi, pihak lawan jenis mantap dengan
pilihan “tidak ada jalan kembali.” Tentu saja hal ini memperparah keadaan yang
sudah keruh. Bagaimana tidak? Belum berusaha saja sudah dicekal.
Banyak
cara yang penulis coba lakukan untuk menghilangkan kegalauan ini. Pertama,
meminta bantuan pihak lain, yaitu mencari pasangan baru. Harapannya saat itu,
hal ini bisa membantu melupakan dia yang dulu pernah ada. Tapi hal ini tidak
berjalan dengan baik. Saran penulis, jangan coba cara yang satu ini kalau anda
belum selesai membersihkan “ruang tamu” di hati anda dan siap menerima “tamu”
yang baru. Pada akhirnya, anda hanya akan menjalani ini setengah hati, karena
memang anda belum siap untuk hubungan yang baru. Bagaimana anda bisa memberikan
dia seluruh hati dan perasaan anda kalau anda masih mengharapkan yang lama
untuk kembali? Yang baru jadi sia-sia, yang lama tak kunjung datang. Alhasil,
jadinya seperti peribahasa “Bagai pungguk yang jatuh tertimpa tangga merindukan
bulan”.
Selesaikan
dulu persoalan anda sendiri. Kalaupun diperlukan pihak lain, jawabannya ada
pada keluarga dan teman, bukan pacar baru. Mungkin saja ada yang berhasil
dengan cara ini, mengingat ada tujuh milyar manusia di bumi ini. Tapi
keberhasilannya hanya alakadarnya. Anda harus benar-benar mengosongkan “gelas”
sebelum dapat mengisinya kembali. Kalau tidak, segalanya akan jadi campur aduk,
dan menimbulkan rasa yang aneh dan tidak nikmat.
Cara
yang lain adalah pergi dari tempat-tempat yang bisa menumbuhkan kembali
memori-memori lama tersebut. Dalam hal ini, penulis benar-benar pergi keluar
kota, dan menetap di kota lain. Selain untuk melanjutkan studi, penulis juga
ingin mendapatkan suasana baru yang jauh dari masa lalu. Tidak ada tempat
nongkrong “kita” yang dulu, jalan yang sering “kita” lewati, makanan yang sering
“kita” nikmati bersama, and so on. This is a whole new life. Kedengaran lebai
sih, tapi untuk menyembuhkan penyakit akut ya dengan obat yang khasiatnya ga
main-main. Tuntas.
Memang
ini juga ga serta merta menghilangkan semuanya. Tapi ini sangat efektif.
Banyaknya kegiatan baru, teman-teman baru, tempat-tempat baru untuk dikunjungi,
membuat penulis perlahan-lahan lupa dengan semua cerita usang. Hidup memang
berat, maka berani hidup lebih baik daripada berani mati. Dan hanya mereka yang
bisa mengatasi masalah yang terjadi, yang akan naik tingkat ke jenjang lebih
tinggi. Salam. AYS.