Kamis, 19 Maret 2015

C H O I C E S

                Suatu hari, di sebuah kota kecil saat jam menunjukkan pukul 12 siang seorang ayah dan anak perempuannya berjalan menyusuri pertokoan. Sehabis pulang sekolah, tak biasanya si ayah mengajak anak perempuan satu-satunya ini untuk berjalan-jalan. Namun hari ini berbeda. “Pasti karena ulang tahunku ‘kan yah?” sahutnya. “Hahahha.. Kamu tau aja. Makanya hari ini ayah mau membelikan sesuatu buatmu.” “Sesuatu yang aku suka yah?,” tanya gadis kecil tersebut. “Mmmmm.. Kita liat aja nanti ya, biar jadi kejutan.” “Asiiikkkkkk....,” teriaknya sambil menari kecil.
                Ketika mereka melintasi sebuah toko mainan, si ayah mengajak putri kecilnya masuk. Sontak hal ini membuat anak berumur tujuh tahun itu girang bukan kepalang. Tidak ada lagi hadiah yang dia harapkan selain sebuah boneka kucing berbulu lebat. Pertama ia melihatnya di televisi, ia langsung menginginkan boneka tersebut menjadi teman bermainnya. Dengan cepat ia berlari menuju rak yang memajang boneka tersebut, dan mengambilnya tanpa ragu, seolah ia tidak punya pilihan lain. Si ayah diam saja mellihat tingkah putrinya, dan membiarkan anak tunggalnya itu memeluk boneka tersebut dengan sangat gembira. Ia tau persis kesukaan putrinya, dan membiarkannya bermain-main dengan boneka itu. 
                “Ayah,  yang ini ya, lucu. Aku suka banget. Hihihihi...”
                “Kamu yakin ga mau liat-liat dulu? Masih banyak loh yang lain, itu yang jerapah juga lucu.”
                “Ga ah, yang ini aja. Aku ga mau yang lain ayah. Liat nih, dia juga suka ku peluk,” katanya sembari menjulurkan boneka tersebut kepada ayahnya.
                “Hmmmmm... ,“ ayahnya hanya menggumam pelan sambil tersenyum.
                Tak terasa sudah hampir lima belas menit mereka menghabiskan waktu di toko tersebut. Dan selama itu pula anak perempuan itu terus memeluk boneka kucing kesukaannya. Tak jarang ia menciumi boneka tersebut.
                Tiba-tiba, ketika ia hendak menghampiri ayahnya untuk memastikan pilihannya, anak itu bersin-bersin. Semakin lama semakin menjadi, sampai-sampai ingus keluar dari hidung mungilnya. Melihat hal itu, ayahnya dengan sigap mengambil boneka itu dari tangan putrinya. Tentu saja hal ini membuat putrinya bertanya-tanya. “Ada apa yah? Kok diambil? Mau dibayar ya?,” tanyanya sambil mengusap hidung dan matanya.
                “Ayah pikir, karena ini ulang tahun kamu, gimana kalau ayah yang milih hadianya?”
                Si anak terlihat sedikit bingung dengan ide ayahnya. “Ayah yang pilih? Tapi ayah pilih yang aku suka ya. Boneka ini yah,” katanya sambil mengguncang-guncangkan tubuh ayahnya.
                “Gimana ya... Tadi ayah liat ada boneka panda yang lucu disebelah sana. Warnanya belang-belang gitu, hitam putih. Lucu deh, pasti kamu suka.”
                Tanpa pikir panjang, anak tersebut langsung menolak ide ayahnya. “Gamau yah, aku maunya yang ini aja. Dia lebih lucu, bulunya lebat banget, hachimmm..enak kalau dipeluk-peluk, hachimmmm,” rengeknya sembari bersin-bersin.
                Si ayah terlihat iba dengan rengekan ayahnya. Kemudian dia berlutut, dan menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh anaknya, terlihat seperti akan berbicara serius tentang sesuatu. “Nak,”sahutnya sambil menghela napas pendek,”kamu yakin bisa merawatnya dengan baik?”
                “Bisa ayah, aku pasti menjaganya dengan baik. Janji deh.”
                “Hmmmm...” si ayah hanya bisa menggumam melihat kesungguhan hati putrinya. “Iya sih, ayah lihat kamu suka banget sama boneka ini, tapiii... kamu liat gak, kalo sejak memegang boneka ini, kamu jadi bersin-bersin terus? Liat tuh, ingusnya sampai meler gitu,” kata ayahnya sambil mengusap ingus yang  terus-terusan mengalir di hidung putrinya.
                “Enghh, iya sih. Tapi kan tadi enggak, baru ini aja bersinnya. Mungkin bukan karena dia ayah, Dodo gatau apa-apa, dia ga salah kok.”
                “Dodo? Hahahahha...” Ini memang sudah menjadi kebiasaan putri kecilnya untuk menamai benda-benda yang dia sukai. “Iya, tapi waktu kamu peluk dan cium-cium si Dodo, ga lama kemudian kamu bersin kan? Kamu tau kenapa?”
                “Kenapa yah? Karena si Dodo belum mandi?”
                “Hahahaha... Bukan sayang. Kamu bersin karena kamu ga bisa dekat-dekat bulu yang lebat kayak Dodo ini terlalu lama.” Si ayah tahu, putrinya tidak akan begitu saja menerima penjelasannya.
                “Tapi yah, aku suka banget sama Dodo,” matanya mulai berair dan mukanya memelas memohon pengertian ayahnya.
                “Iya, ayah tahu. Tapi coba kita liat dulu Kuri ya, dia juga ga kalah lucu kok, pipinya tembem lagi, kayak kamu. Hehehehhe.”
                “Kuri?,” tanyanya sambil mengikuti ayahnya menuju salah satu rak di ujung toko. Sesampainya di rak tersebut, si ayah langsung menjulurkan sebuah boneka panda kepada putrinya. “Halo namaku Kuri, salam kenal,” kata ayahnya sambil mengubah suaranya menyerupai suara anak kecil.
                Putrinya terlihat tidak begitu antusias ketika menerima boneka itu dari tangan ayahnya. Ia diam saja sambil membolak-balik boneka tersebut, seolah-olah mencari-cari sesuatu yang terselip di boneka itu. Matanya seperti menerawang sesuatu, dan tatapannya tidak secerah ketika ia menggenggam Dodo, boneka kucing berbulu lebat yang sudah lama ia idamkan.
                “Gimana?” tanya ayahnya. Meskipun ia tahu, putrinya tidak begitu senang dengan pilihannya, tetapi ia mencoba untuk meyakinkan putrinya itu dengan pilihan yang ia berikan. “Baguskan? Liat deh, pipinya tembem gitu.”
                “Jadi ayah mau ngasi Kuri buat aku?” tanyanya muram. “Iya sih, dia lucu, tapi dia ga sebagus Dodo yah.” 
                “Coba kamu peluk-peluk dulu si Kuri. Kan kamu belum lama sama dia, gimana kamu bisa tahu sayang.”
                Dengan enggan, putrinya mengikuti saran ayahnya. Lama ia mencoba untuk menghibur diri dengan pilihan ayahnya. Dia peluk dan cium si Kuri, sama seperti yang dia lakukan pada boneka kucing berbulu lebat sebelunmnya. Sesekali matanya masih melihat ke arah Dodo, yang diletakkan begitu saja oleh ayahnya di dekat kasir. Namun ia tahu, ayahnya tentu ingin memberikan yang terbaik baginya. Selama ini tidak pernah sekalipun ia dikecewakan oleh ayahnya. Ia tahu, ayahnya begitu menyayanginya.
                Lama-lama, ia merasa nyaman dengan Kuri. Terutama karena ia tidak bersin lagi. Dalam hatinya ia senang, karena dia bisa lama-lama bermain dengan boneka panda ini. “Kalau dengan Dodo, mungkin aku udah bersin lagi,” pikirnya. “Kalau dilihat-lihat, kamu lucu juga Kuri. Pipi kamu tembem, mata kamu bulet, terus perutnya buncit lagi. Enak buat dipeluk-peluk.” Ayahnya yang melihat dari kejauhan juga senang karena putrinya menyukai pilihannya.
                “Yah, Kuri aja deh ya. Ini, ayo kita bawa Kuri pulang, dia mau minum teh sama aku katanya. Hehehehe.”
                “Iya deh, tapi nanti papa juga ikut dibikinin teh tapi ya. Hehehehe.”
               



                Tentu kita sudah sering dihadapkan pada bermacam-macam pilihan sulit seperti diatas. Apalagi kalau kita benar-benar menginginkan sesuatu yang kita sukai, seakan tidak ada pilihan lain bagi kita selain apa yang kita senangi tersebut. Maunya itu, hanya itu, cuma itu. Maunya kamu, cuma kamu, hanya kamu. Bukan begitu?
                Tentu tidak mudah bagi kita melepaskan sesuatu yang begitu kita sukai. Hal ini sangat wajar dan lumrah terjadi. Terutama kalau urusannya udah soal asmara. Orang yang paling susah dikasih tahu adalah mereka-mereka yang sedang dimabuk cinta. Namanya lagi mabuk, ya udah ga rasional lagi. Lagi lagi ya maunya kamu, cuma kamu, hanya kamu.
                Ada kalanya baik bagi kita untuk menarik diri, sejenak keluar dari ke-akuan kita sendiri. Dan tidak membiarkan diri kita larut oleh keinginan semu yang kita yakini sepenuhnya benar. Apakah dia memang yang terbaik? Benarkah kita tidak punya pilihan lain? Apa kita benar-benar mati tanpanya (kan “aku mati tanpamu” katanya)?
                Penulis juga pernah mengalami hal serupa. Ketika itu terjadi di medio 2013-an, penulis rasanya sudah “menutup mata” untuk kemungkinan lain. “Pindah” menjadi hal yang begitu sulit untuk dilakukan. Ditambah lagi, pihak lawan jenis mantap dengan pilihan “tidak ada jalan kembali.” Tentu saja hal ini memperparah keadaan yang sudah keruh. Bagaimana tidak? Belum berusaha saja sudah dicekal.
                Banyak cara yang penulis coba lakukan untuk menghilangkan kegalauan ini. Pertama, meminta bantuan pihak lain, yaitu mencari pasangan baru. Harapannya saat itu, hal ini bisa membantu melupakan dia yang dulu pernah ada. Tapi hal ini tidak berjalan dengan baik. Saran penulis, jangan coba cara yang satu ini kalau anda belum selesai membersihkan “ruang tamu” di hati anda dan siap menerima “tamu” yang baru. Pada akhirnya, anda hanya akan menjalani ini setengah hati, karena memang anda belum siap untuk hubungan yang baru. Bagaimana anda bisa memberikan dia seluruh hati dan perasaan anda kalau anda masih mengharapkan yang lama untuk kembali? Yang baru jadi sia-sia, yang lama tak kunjung datang. Alhasil, jadinya seperti peribahasa “Bagai pungguk yang jatuh tertimpa tangga merindukan bulan”.
                Selesaikan dulu persoalan anda sendiri. Kalaupun diperlukan pihak lain, jawabannya ada pada keluarga dan teman, bukan pacar baru. Mungkin saja ada yang berhasil dengan cara ini, mengingat ada tujuh milyar manusia di bumi ini. Tapi keberhasilannya hanya alakadarnya. Anda harus benar-benar mengosongkan “gelas” sebelum dapat mengisinya kembali. Kalau tidak, segalanya akan jadi campur aduk, dan menimbulkan rasa yang aneh dan tidak nikmat.
                Cara yang lain adalah pergi dari tempat-tempat yang bisa menumbuhkan kembali memori-memori lama tersebut. Dalam hal ini, penulis benar-benar pergi keluar kota, dan menetap di kota lain. Selain untuk melanjutkan studi, penulis juga ingin mendapatkan suasana baru yang jauh dari masa lalu. Tidak ada tempat nongkrong “kita” yang dulu, jalan yang sering “kita” lewati, makanan yang sering “kita” nikmati bersama, and so on. This is a whole new life. Kedengaran lebai sih, tapi untuk menyembuhkan penyakit akut ya dengan obat yang khasiatnya ga main-main. Tuntas.

                Memang ini juga ga serta merta menghilangkan semuanya. Tapi ini sangat efektif. Banyaknya kegiatan baru, teman-teman baru, tempat-tempat baru untuk dikunjungi, membuat penulis perlahan-lahan lupa dengan semua cerita usang. Hidup memang berat, maka berani hidup lebih baik daripada berani mati. Dan hanya mereka yang bisa mengatasi masalah yang terjadi, yang akan naik tingkat ke jenjang lebih tinggi. Salam. AYS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar